Senin - Jum'at08:00 - 17:00
KantorTreasury Tower SCBD District 8, Unit 02J - OF1, Senayan, Jakarta Selatan
Kunjungi halaman sosial kami

Inspirasi CEOSurplus di Atas Kertas, Defisit di Meja Makan: Menguji Makna Merdeka

August 17, 2025
Share :

Pada HUT ke-80 Republik Indonesia, Presiden Prabowo menyampaikan pidato penuh optimisme. Ia menekankan kemerdekaan sejati adalah merdeka dari kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan. Pidato itu memaparkan sederet capaian: Rp300 triliun anggaran diselamatkan dari kebocoran birokrasi, surplus beras nasional, program *Makan Bergizi Gratis* untuk 20 juta anak, serta koperasi Merah Putih di desa-desa. Di atas panggung negara, itu terdengar sebagai langkah besar menuju kedaulatan ekonomi.

Namun, di bawah, rakyat masih menghadapi kenyataan yang keras. Harga beras memang relatif stabil, tetapi cabai, ikan, dan solar tetap mahal. Petani memang menyambut kenaikan harga gabah, tetapi mereka masih kesulitan mendapatkan pupuk dengan harga wajar. Nelayan tetap bangga disebut pahlawan pangan laut, tetapi sering rugi melaut karena ongkos BBM dan cuaca ekstrem. Rakyat kecil di warung kopi desa jarang membicarakan surplus beras atau diplomasi internasional—yang mereka obrolkan adalah bagaimana membayar uang sekolah anak atau menutup cicilan motor.

Presiden menekankan demokrasi kita matang dan diakui dunia. Benar, transisi kepemimpinan berjalan mulus. Tetapi bagi rakyat, ukuran demokrasi yang paling terasa bukan sekadar pujian internasional, melainkan harga pangan yang stabil, lapangan kerja yang cukup, serta akses kesehatan dan pendidikan yang terjangkau. Demokrasi di atas kertas harus turun menjadi kesejahteraan di dapur rakyat.

Program Makan Bergizi Gratis dan Marine-Based Granary (MBG) memberi harapan. Data pemerintah menyebut jutaan anak kini makan bergizi tiap hari, dan lapangan kerja desa tercipta. Di pesisir, MBG menjadi prototipe dapur umum nasional berbasis laut. Namun distribusi masih belum merata. Di banyak desa terpencil, bekal anak masih sebatas nasi dan garam. Ironisnya, yang sering lebih cepat hadir adalah gotong royong pemuda masjid, ibu-ibu PKK, dan kelompok tani, yang bahu-membahu menutup lubang kebijakan dengan solidaritas lokal.

Presiden menegaskan kembali Pasal 33 UUD 1945 sebagai fondasi ekonomi: bumi, air, dan kekayaan alam harus digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Pesan itu kuat. Tetapi rakyat masih melihat ironi: produsen sawit terbesar bisa langka minyak goreng, surplus beras tetapi harga tetap melonjak di pasar desa. Distorsi inilah yang membuat rakyat merasakan jurang antara klaim di panggung negara dan kenyataan di dapur rumah tangga.

Karena itu, pidato kenegaraan dan suara rakyat harus saling mengisi, bukan saling menjauh. Dari atas, negara memang perlu menjaga arah dengan kebijakan besar, penegakan hukum, dan strategi geopolitik. Dari bawah, rakyat desa dengan sawah, ladang, dan lautnya harus diberdayakan sebagai benteng pangan dan energi bangsa. Negara perlu memastikan distribusi pupuk, BBM, dan pangan tidak terjebak mafia atau birokrasi lamban, sementara rakyat menjaga solidaritas sosial yang sudah mengakar.

Kemerdekaan yang kita rayakan di usia 80 tahun ini tidak boleh berhenti pada klaim capaian makro. Kemerdekaan sejati adalah ketika janji di podium benar-benar terasa di meja makan keluarga. Saat rakyat kecil bisa tidur kenyang, anak-anak belajar tanpa cemas, dan petani-nelayan tersenyum karena jerih payahnya dihargai, barulah merah putih itu berkibar sepenuh makna.


Share :