Senin - Jum'at08:00 - 17:00
KantorTreasury Tower SCBD District 8, Unit 02J - OF1, Senayan, Jakarta Selatan
Kunjungi halaman sosial kami

Inspirasi CEOMetaverse di Depan Mata, Privasi Kita Dipertaruhkan

July 31, 2025
Share :

Kita tengah berada di ambang revolusi digital tahap berikutnya: metaverse dan sistem identitas digital global atau yang dikenal sebagai DIMS (Digital Identity Management Systems). Bukan lagi sekadar soal membuka akun atau menggunakan aplikasi, melainkan tentang eksistensi virtual kita—siapa diri kita di dunia maya, dan siapa yang mengendalikannya. Dalam konteks inilah, kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat untuk membuka jalur transfer data pribadi lintas negara menjadi isu krusial yang tak bisa dianggap sepele. Perjanjian ini menyebut bahwa Indonesia akan memberikan kepastian hukum bagi pengalihan data pribadi warga ke Amerika Serikat, dan mengakui bahwa AS memiliki sistem perlindungan data yang memadai. Namun benarkah demikian?

Faktanya, Amerika Serikat hingga kini belum memiliki undang-undang federal yang secara komprehensif melindungi data pribadi warganya, apalagi data dari negara lain. Perlindungan data di AS bersifat sektoral dan terbatas pada bidang tertentu, seperti layanan kesehatan dan anak-anak di bawah usia 13 tahun. Banyak perusahaan teknologi AS bahkan telah terbukti melanggar prinsip privasi di Eropa dan menghadapi sanksi besar akibat praktik mereka yang mengabaikan hak-hak digital konsumen. Ironisnya, dalam kesepakatan tersebut, Indonesia justru dituntut mengakui standar perlindungan data AS sebagai memadai. Yang lebih mengkhawatirkan, Indonesia sendiri belum memiliki otoritas perlindungan data independen yang ditugaskan untuk mengawasi praktik-praktik seperti ini, padahal hal itu sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) Nomor 27 Tahun 2022.

Di sisi lain, dunia tengah bersiap memasuki fase baru bernama metaverse—ruang digital tiga dimensi di mana aktivitas sosial, ekonomi, dan politik akan berlangsung secara paralel dengan dunia nyata. Dalam realitas ini, kita akan dikelola oleh DIMS—sistem yang merekam, memverifikasi, dan menyimpan identitas digital kita secara menyeluruh. Data bukan lagi hanya tentang nama atau email, tetapi juga biometrik, kebiasaan konsumsi, preferensi visual, bahkan ekspresi wajah dan detak jantung. Semua itu akan menjadi bagian dari profil digital kita. Dalam dunia seperti ini, ketika data pribadi adalah fondasi dari seluruh aktivitas digital, maka setiap kebocoran, penyalahgunaan, atau perjanjian tidak transparan akan berdampak langsung terhadap integritas pribadi kita sebagai manusia digital.

Melihat arah ini, langkah antisipatif menjadi sangat penting. Setiap individu harus mulai mengambil peran dalam menjaga kedaulatan digital dirinya. Pertama-tama, kita perlu membangun kesadaran yang tinggi terhadap pentingnya privasi. Jangan asal menyetujui syarat dan ketentuan tanpa membaca. Tanyakan, siapa yang mengumpulkan data kita, untuk apa digunakan, dan sejauh mana kita bisa menarik kembali kontrol atasnya. Gunakan perangkat pelindung digital seperti VPN, manajer kata sandi, dan atur izin aplikasi secara bijak. Ini bukan paranoia—ini adalah bentuk perlindungan diri di era di mana data adalah aset yang paling bernilai.

Kedua, kita perlu mengelola identitas digital kita secara sadar dan terukur. Apa yang kita unggah hari ini—mulai dari komentar, foto, hingga preferensi—akan membentuk bagaimana algoritma dan sistem di masa depan memperlakukan kita. Jejak digital bukan hanya catatan, tapi cermin kepribadian yang bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan politik, bisnis, atau manipulasi sosial. Maka penting untuk menjaga konsistensi informasi yang kita bagikan, serta melakukan audit berkala terhadap akun dan aktivitas online kita.

Ketiga, kita tidak bisa hanya bertahan di level individu. Kesadaran kolektif dan tekanan publik sangat penting untuk mendorong regulasi yang berpihak kepada rakyat. Pemerintah harus dituntut untuk membentuk otoritas perlindungan data yang benar-benar independen, memiliki kewenangan penuh, dan tak bisa diintervensi oleh kekuatan ekonomi atau politik. Transparansi dalam perjanjian lintas negara terkait data juga wajib ditegakkan. Rakyat perlu tahu jenis data apa yang ditransfer, untuk keperluan apa, dan bagaimana mekanisme pengawasannya. Tanpa itu, maka hak atas privasi kita akan dengan mudah diperjualbelikan dalam ruang negosiasi yang tertutup.

Ketika Google melalui Project Zero menetapkan kebijakan pengungkapan bug dalam waktu 90 hari demi transparansi dan perlindungan pengguna global, Indonesia justru membuka celah untuk menyerahkan data pribadi warganya tanpa kepastian hukum yang tegas. Ini adalah ironi. Di satu sisi, perusahaan teknologi global mulai menegakkan standar akuntabilitas dan keterbukaan. Di sisi lain, pemerintah kita justru bernegosiasi atas nama efisiensi ekonomi, sembari mengabaikan hak dasar digital warga negara. Padahal, jika data pribadi adalah bahan bakar utama ekonomi digital masa depan, maka menyerahkannya tanpa perlindungan adalah seperti menyerahkan tambang emas tanpa pengamanan.

Kita semua—pengguna, pelaku industri, pembuat kebijakan—perlu memahami bahwa data bukan hanya deretan angka di server asing. Ia adalah representasi diri kita: siapa kita, apa yang kita pikirkan, ke mana kita melangkah. Jika kita kehilangan kontrol atas data, kita kehilangan kendali atas versi digital diri kita sendiri. Dan jika itu terjadi, maka kedaulatan bukan lagi milik negara, tapi milik korporasi atau kekuatan asing yang tak terikat pada prinsip transparansi maupun keadilan.

Masa depan digital akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita bertindak hari ini. Apakah kita akan menjadi penonton dari arsitektur dunia maya yang dibangun tanpa kita? Atau kita akan menjadi subjek yang sadar, kritis, dan berdaulat di ruang metaverse dan sistem identitas global? Pilihannya ada di tangan kita. Tapi yang pasti, satu hal harus jadi pegangan: privasi bukan bonus—itu hak dasar. Dan hak itu harus dijaga, bukan dijual.


Share :